Lumba-lumba di Teluk Impian



"Tergantung nasib." Begitulah kiranya jawaban dari nahkoda yang bersama kami saat menuju laut lepas di atas jukung pasca kutanya kapan waktu yang tepat untuk melihat lumba-lumba di Teluk Kiluan.

Lampung. Sebuah provinsi di ujung selatan Pulau Sumatera ternyata memiliki segudang destinasi wisata yang bisa dibilang eksotik, khususnya di bidang tamasya bahari. Yang ternama barangkali, sebut saja Pulau Pahawang dan Kelagian. Lainnya masih menata diri dan berbenah, atau jangan-jangan masih banyak yang belum muncul ke permukaan. Satu yang tak lepas dari kesan menggoda bagiku ialah Teluk Kiluan.


Soal fasilitas sebagai sebuah objek wisata memang tak bisa dibandingkan dengan wisata-wisata tersohor macam Bali maupun Lombok. Di sana, di teluk nan seksi itu, kita tak akan menjumpai hotel-hotel mewah dengan taksi atau angkutan umum yang berjejer rapi dan siap mengantar kita ke mana saja. Yang berdiri tegak di pinggir-pinggir pantai, justru rumah-rumah sederhana dengan pondasi tertancap di bibir-bibir laut.


Laporan Kompas pada 2012 menyebutkan belum ada listrik sama sekali di sana. Bersyukur, di pergantian tahun baru 2018 sayup-sayup redup lampu yang temaram setidaknya sudah menghiasi jalan akses di lokasi. Banyak home stay yang malah terang benderang dengan lampu LED di dalamnya. Masjid dan warung-warung pun sudah cukup banyak. Artinya, sedikit demi sedikit Kiluan berkembang menampakkan status dirinya sebagai destinasi yang layak untuk dikunjungi.


Singgah di Kiluan layaknya kita mampir di satu perkampungan yang masih alami. Jauh dari hingar bingar Alfamart-Indomaret. Rumah berderet di sepanjang pantai. Jalan-jalannya meskipun bukan aspal hotmix yang mulus, namun lumayan memadai untuk dipijak kendaraan bermotor. Selain itu, Kiluan memiliki semacam ruang terbuka publik di depan masjid, sebagaimana alun-alun pada sebuah kota. Tempat bermain, berkumpul, atau mengadakan acara seremonial. Di beberapa bahkan spot sudah ada yang menjual pernik oleh-oleh untuk dibawa pulang. Kategori yang sangat pas sebagai bagian tempat berlibur.


Warga di sana cukup ramah. Sekonyong-konyong terdengar percakapan berbahasa Sunda. Yang memang ternyata, banyak masyarakatnya berasal dari Banten, menyebrang ke Lampung, menetap, dan bermata pencaharian di sana.


Berburu Lumba-lumba

Jualan utama atau tujuan turis datang ke Kiluan ialah melihat lumba-lumba di lautan terbuka. Pagi-pagi betul sekitar pukul 5.30, sesaat sebelum matahari terbit, kami—ketika itu, mesti sudah siaga melaut. Berbekal jukung, pelampung, dan kamera di tangan, idealnya sudah siap untuk menyaksikan lumba-lumba dengan mata telanjang dan merekamnya dengan gawai. Mungkin saja ini adalah yang pertama dan satu-satunya momen semasa kita hidup dan entah akan terulang lagi.

Jukung ialah sebuah perahu dengan satu mesin kincir penggerak dengan kapasitas hanya untuk tiga penumpang dan satu nahkoda. Relatif kecil untuk ukuran sebuah perahu yang diproyeksikan untuk menantang samudera. Satu lagi, tanpa atap. Bukan perkara berani atau tidak. Aman atau berbahaya. Yang mesti digarisbawahi, menaiki jukung memang memicu adrenalin. Bermodal percaya pada sang nahkoda dan setumpuk keinginan berjumpa dengan lumba-lumba, rasanya sudah lebih dari cukup untuk melangkahkan kaki dan duduk di atasnya.


Perahu dipacu menjauh dari pantai. Satu, dua, tiga... ratusan meter menjangkau laut lepas. Awan mendung, matahari nampak malu-malu sesekali saja muncul dan kembali termggelam. Gerimis pun menerjang. Gelombang sangat besar bergoyang naik dan turun memukul-mukul perahu dan juga nyali kami. Mesin penggerak ditarik lagi tuasnya agar perahu bergerak lebih kencang sebagai ikhtiar menahan gempuran air. Benar saja, jantung berdegap kencang akibat kombinasi perahu yang deras meluncur dan gerimis yang tak kalah deras pula turun.


Kurang lebih 30 menit—jika saya tak salah ingat—untuk kita tiba di titik pencarian lumba-lumba. Hujan reda, perahu melambat. Bapak nahkoda yang sedari tadi cukup serius dan hanya sesekali bicara, tiba-tiba berteriak cukup lantang di antara gemuruh angin dan perahu yang merangkak pelan, “Lihat itu, di sebelah kanan!” sembari telunjuknya mengarah ke suatu tempat. Kami bertiga menoleh ke arah yang ditunjuk dan mencari-cari lumba-lumba yang siapa tahu menampakkan dirinya. Namun nihil, kami cuma melihat hamparan air biru kelam sepanjang mata menatap. Dalam hati, “Jangan-jangan kami memang tak bernasib baik untuk sekadar bertemu lumba-lumba, apalagi untuk menaklukan hidup.”


Saya berinisiatif untuk duduk lebih tinggi lagi dibanding posisi semula di atas kayu yang melintang di antara badan perahu. Dengan begitu, jangkauan pandangan semestinya bisa lebih luas. Mata menoleh ke kiri dan ke kanan. Seketika kembali terkaget sebab sahutan salah satu dari kami yang tanpa jeda terus menerus berkata, “Itu. Itu. Itu. Lumba-lumbanya banyak banget.” Mata yang sedari tadi bolak-balik berputar pun, kini menemukan jawabnya. Tombol rekam gawai saat itu juga ditekan demi mengekalkan momen yang langka ini. Yang membuat lega: ternyata kami, tepatnya aku, tak bernasib sial betul. Setidaknya untuk kali ini.


Taruhan kami di atas jukung: nyali yang semenjak awal dikumpulkan, lantas diterpa badai kecil yang kemudian berlalu saat berangkat, akhirnya terbayar tuntas. Kami dapat berkejaran beriringan dengan lumba-lumba di Kiluan.


Pulau Kelapa dan Laguna Gayau

Puas berputar-putar berburu, perahu menepi di sebuah pantai. Pasir putih menghampar tak begitu luas, relatif kecil bahkan. Air laut yang kelam berubah cerah ceria berwarna biru kehijauan. Ombak yang menyalak ganas berganti air yang jinak dan menenangkan. Pohon kelapa dan pohon-pohon berdaun lebat lainnya bahu membahu membuat pantai menjadi teduh. Entahlah, gambaran pantai ideal yang lama mengendap di kepala saat berhiruk pikuk dengan kesibukan, rasa-rasanya, lagi-lagi, seperti khayalan yang mewujud.

Dua anak lelaki kecil dengan tanpa mengenakan baju bermain pasir pantai membuat bangunan istana ketika kutanya. Mereka menunggu ombak tenang di pantai itu untuk merobohkannya. Tenda-tenda berdiri di bawah pepohonan. Banyak anak muda yang menghabiskan malam mereka dengan mendengar nyanyian angin dan belaian alam. Lainnya terlihat berpose dengan latar belakang papan reklame kecil bertuliskan Pulau Kiluan.


Tak terlalu lama singgah di sana. Padahal asin airnya memanggil-manggil tubuh untuk berenang dan sejenak melepas penat. Sayang sekali rasanya, karena kawan-kawan lain sudah mengajak bergegas ke titik tuju selanjutnya: Laguna Gayau. Sehingga kami tak sempat basah-basahan dan lebih jauh menikmati anginnya. Mungkin lain kali harus datang ke sini lagi untuk camping dan habis-habisan bergumul dengan si pantai cantik ini.


Menuju Laguna Gayau, kita menapaki jalan setapak dengan morfologi naik dan turun yang lumayan curam di sisi jalan. Sudah tentu, menghasilkan keringat yang tak sedikit dan usaha yang cukup besar. Maka bersiap saja dengan air minum dan barang yang tak kelewat berat untuk dibawa. Di sepanjang jalan banyak pepohonan yang hijau dan rindang. Sempat bahkan saya melihat tanaman kopi di beberapa titik di jalur tracking.


Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan setelah turunan terakhir coba dilunasi dengan sajian penutup berupa pemandangan karang yang menghampar di pinggir laut. Ombak keras menghantam deretam karang. Ada semacam kolam alami yang tak terlalu besar yang dibatasi karang-karang di sekelilingnya, dan terpisah dengan laut. Airnya jernih dan tenang, nyaris tak ada arus yang berarti. Barangkali itulah yang disebut lagun. Kita dapat dengan tenang berenang di sana. Namun, harus cukup berhati-hati dengan hentakan-hentakan ombak-ombak deras yang terus menghantam karang.


Itulah Kiluan, si Teluk impian. Paket yang bukan hanya lumayan lengkap untuk berlibur, melainkan juga menambah momen serta pengalaman yang menurut saya mahal harganya. Sensasi melawan laut di atas jukung, kawanan lumba-lumba yang menari, pantai yang biru dan elok, drama tracking dan lagun yang jarang juga kita temui di pantai-pantai lain. Seperti juga nasib baik yang membawa kita bertemu lumba-lumba, semoga nasib baik selalu menyertai kita pula di sepanjang hidup.


Chandra Egy Setiawan

Pria yang Menunggu Kelulusan


“Nak, kapan kaupulang? Adikmu mulai magang di puskesmas desa dan ingin segera menikah.”



***

Seorang anak muda yang dikenal pintar di kampungnya sejak kecil, saat ini sedang termangu. Ia sampai tak habis pikir bagaimana bisa manusia sepertinya yang percaya diri bahkan sering kali sombong di hadapan orang, sekarang sedang dipecundangi. Bukan oleh orang jahat, bukan. Melainkan kondisinya sendiri.


Setiap hari kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Tak pernah dan tak ingin sama sekali bersosialisasi dengan tetangga apalagi kawan-kawan mainnya. Raganya tak sakit sama sekali, ia merasa tak ada yang salah dengan tubuhnya. Yang dirasakannya malah sesuatu yang imajiner, bagai ada batu begitu besar mengganjal hatinya. Diam, menyendiri, dan termenung adalah rutinitas wajibnya kini—menikmati tiap sengatan “sakit” yang menyulut. Ia resmi menjadi “manusia kamar” yang tergambar jelas dalam sebuah cerpen Seno Gumira Ajidarma.


Para tetangga merasa iba. Salah satu dari mereka menyarankan untuk berobat ke mantri. Alih-alih harus berobat, untuk makan pun ia hanya mampu berlauk telur ayam setiap hari. 


Karena tak kuat menahan sakitnya, di malam yang lumayan dingin, berbekal uang dari celengan yang dipecahkan, ia memaksakan pergi ke rumah seorang dukun. Sebuah keputusan yang akhirnya mendadak ia buat. Ini langkah yang lebih hemat, pikirnya, daripada pergi berobat melalui medis.


Rumah dukun yang cukup masyhur itu berada di tepi Gunung Harendong. Sebuah gunung di antara makam-makam orang Cina. Dan beginilah kata dukun yang ketika malam dingin itu ia sambangi, dirinya akan segera terbebas dari belenggu yang mendera ketika sesuatu yang bernama kelulusan datang dan memeluknya erat.


Awalnya ia sama sekali tak percaya. Toh, menurutnya orang lain masih sehat dan senang-senang saja tanpa berjodoh dengan si kelulusan ini. Namun, semakin hari batinnya semakin merasa terpenjara. Ia semakin sulit lepas dari jeratan perasaannya. Barulah di titik itu ia beranggapan bahwa tak ada salahnya percaya omongan si dukun. Mungkin saja benar apa yang dikatakan pria berjanggut putih yang ditemuinya di malam yang dingin.


Sejak saat itu, ia terus menerus berpikir bagaimana caranya bertemu dengan kelulusan. Si dukun tak memberikan deskripsi lengkap, sambil terpejam komat-kamit dukun hanya menyebut satu kata: kelulusan. Harapannya terhadap kelulusan tak muluk-muluk langsung bertemu apalagi dengan erat dipeluk, minimal bisa melihat wajahnya saja sudah syukur. Langkah lanjutnya entah nanti.


Ide-ide mengenai cara bertemu kelulusan berseliweran di kepala. Saat makan, merokok, sampai-sampai saat jongkok di toilet. Ia mencatatnya. Malam-malamnya pun ditaburi mimpi-mimpi tentang kelulusan. Kadang kelulusan datang bagai wanita yang berparas cantik dan dengan malu-malu mendekapnya. Di mimpi yang lain seperti sosok manusia bertubuh besar memiliki wajah yang sangat seram perlahan menghampirinya. Namun, pernah pula kelulusan datang berwujud badai angin dan meluluhlantakkan kamarnya saat tertidur.


Dengan sangat hati-hati ia memilah ide-ide yang telah ditulis di catatan kecilnya. Menyusun berdasarkan parameter prioritasnya sendiri. Dan ia bertekad siap menjalankan idenya satu per satu. Ia ingin segera sembuh dan kembali beraktivitas sebagaimana ia biasa lakukan lagi.


Rencana dimulai dengan bertanya pada siapa pun yang ada di pasar ikan persis sebelah utara tempat tinggalnya. Ia mengawali dengan memesan secangir kopi di warung. Strateginya jelas: bertanya pada siapa pun, tentang siapa dan seperti apa rupa kelulusan yang hingga saat ini masih mengganggu hatinya. Dari pukul delapan pagi hingga sore menuju senja, setiap orang yang berada di warung juga yang melintas di halaman khatam ia tanyai, namun tak seorang pun yang tahu. Ia pun pulang dengan kehampaan.


Di hari berikutnya ia melakukan hal bertolak belakang dengan agenda sebelumnya. Ia pergi ke hutan dan sungai-sungai, barang kali dalam pikirnya kelulusan berupa benda mati yang senang menyendiri di alam. Ditelusurinya hutan dan sungai-sungai di daerahnya demi bertemu penawar racun yang perlahan menggerogoti dirinya. Yang ditemukannya pun hanyalah onggokan batu-batu bisu berbentuk bundar lebih besar dari kepalanya. Kelulusan tak ada sama sekali, tak pernah muncul.


Konsep-konsep yang lain pun ia jajaki. Dari semua, tak ada satu pun yang membuatnya bertemu dengan kelulusan.



***


Di dekat sudut rak buku, seorang Ibu duduk berhadapan dengan anak gadisnya. Bapak belum pulang dari ladang hingga petang. Katanya sedang lembur, seperti biasa di akhir bulan pesanan hasil panennya meningkat pesat. Ia harus mengepaki kentang-kentang berwarna ungu yang menjadi komoditas produksinya.


Anak gadis yang baru pulang magang di sebuah puskesmas memulai percakapan dengan menanyakan kabar wanita yang melahirkan dan merawatnya sejak kecil. Akhir-akhir ini beliau sering kali mendadak pusing dan sakit-sakitan. Sering kali pula warung miliknya tutup lebih awal karena ia sudah tak kuat lama terjaga. Setelah sedikit berbasi-basi sambil memijat-mijat kaki ibunya yang terselonjor, anak gadis itu tiba-tiba menyergap dengan tanya, “Bu, Aa kapan pulang? Eneng sudah ditanya sama Dendi ‘Sudah siap menikah apa belum?’ katanya.”


Ibunya menggelengkan kepala, ia tahu anak sulungnya yang pria itu sedang merantau dan belum juga lekas pulang. Kabar terakhir anaknya melalui pesan singkat kemarin lusa bahwa ia sedang tak sedap hati dan belum bisa menyelesaikan pekerjaannya di perantauan. Tentu saja, kondisi ini membuat wanita tua itu semakin tak kerasan. Ia hanya bisa mendoakan anaknya dari kejauhan sembari sesekali berkabar melalui alat telekomunikasi anak gadisnya.



***

Genap sebulan sejak malam dingin itu, ia kembali datang pada sang dukun dan segera bertanya apa gerangan yang menyebabkan tak jua ditemuinya kelulusan. Dukun itu, sambil terpejam mengusap-usap janggutnya, kali ini mengatakan bahwa sebenarnya kelulusan datang beberapa waktu yang lalu. Namun pria ini tak bersungguh-sungguh menemuinya sehingga gejolak perasaan pun tak terhindarkan. Dengan kata lain, kelulusan marah.


Pria yang belum menemukan kelulusan pun bingung kapan waktu itu kelulusan datang menghampirinya. Dukun kemudian menyarankan pria itu untuk menunggu termasuk melanjutkan usaha yang telah dimulainya. “Akhirilah apa yang telah kamu mulai, kelulusan akan segera tiba,” katanya.


Ia memang selalu percaya satu hal. Selalu ada kesempatan berikutnya ketika hati begitu teguh dan usaha begitu kekal. Menurutnya datangnya kelulusan adalah sebuah keniscayaan, sama halnya seperti kematian yang cepat atau lambat akan merenggut tiupan nafasnya. Ia semakin yakin dengan apa yang ia percayai. Ia menunggu dan menunggu.



***


Begitu saja ia terbangun, tanpa sadar matahari telah berada tepat di atas kepalanya. Tadi malam ia sukar terlelap, seperti biasa ia harus bergelut terlebih dulu dengan perasaannya sebelum matanya benar-benar terpejam. Ada satu pesan yang ia ingat di mimpinya fajar tadi. Di mimpi itu, ia berada dalam situasi yang sangat gelap, berdiri dan menunggu hal yang tak pasti. Kemudian lirih terdengar suara yang begitu merdu, “Aku akan datang purnama bulan ini, tunggu aku dengan berani.”


Ia ingat, begitu ingat. Suara di mimpinya lirih, begitu lirih. Bulan ini adalah bulan kelima sejak malam dingin itu. Dan lima hari lagi, purnama akan segera datang menampakkan semburatnya. Segera ia menggenggam handphone-nya dan mengabarkan segera pulang kepada adik perempuannya sekitar seminggu lagi. Biasanya setelah mendapat kabar semacam itu, sang adik memberi tahu ibunya selepas pulang dari Puskesmas.


Ia, pria itu, begitu antusias menunggu purnama bulan ini. Tak seperti purnama di bulan lain, yang ia biarkan lalu begitu saja. Namun tetap, gelombang antusiasme tak bisa menutupi rasa sakitnya. Cedera hatinya makin menjadi-jadi.



***

Dan sekarang adalah saat purnama tinggal sehari lagi. Ibu dan adiknya yang kebetulan sedang libur, memaksakan diri menengok sang sulung di perantauan. Mereka sengaja tak memberi tahu akan datang. Niatnya memang ingin memberi kejutan. Si ibu merasa sangat rindu pada anaknya. Meskipun ia akan segera pulang, namun ibu merasa dirinya harus datang berkunjung. Harus. Setelah sebelumnya bersikeras meminta izin pada suaminya hingga ujungnya direstui.


Singkatnya, mereka telah tiba di halaman kontrakan tempat sang anak tinggal. Sebuah kontrakan kumuh yang terdiri tak lebih dari sepuluh kamar. Mereka menenteng oleh-oleh yang mereka bawa dari rumah. Di gerbang mereka berpapasan dengan seorang pria muda dengan jaket lusuh di pundaknya. Ibu memulai menyapa dan menanyakan ihwal anaknya. Pria itu menjawab bahwa sejak pagi anaknya belum jua keluar kamar.


Purnama tinggal beberapa jam. Kelulusan hampir datang untuk segera merobohkan tembok besar di dada pria yang telah menderita berbulan-bulan. Ibu dan anak perempuannya berjalan perlahan menuju kamar paling pojok belakang di kontrakan itu. Entah sejak kapan, gerimis pun turun tanpa permisi.



Sang ibu telah berada di depan pintu kamar dan mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tak ada suara sama sekali dari dalam. Pintu pun diketuk lagi. Tak ada pula yang menjawab. Ibu lantas menggerakan tangkai pintu, membukanya. Dan dilihat anak sulungnya sedang terkapar. Ia mendekat. Ia mendapati anaknya yang terkapar sedang tersenyum namun tak bernapas. Pria itu telah mati. Ia telah mati menunggu kelulusan.

Ramadan dan Irisannya

Mike Hewitt/Getty Images
Ramadan adalah fenomena. Bukan sekadar hitungan hari, melainkan sebuah destinasi waktu.

Tak adil rasanya membandingkan Ramadan dengan bulan-bulan lain. Allah jelas menyebutnya raja dari aneka bulan. Sebuah bulan monemental saat segala hal yang ada di dalamnya menjadi istimewa dan berbeda. Tak hanya pelipatgandaan pahala dan ampunan yang dijanjikan khusus pada bulan ini, tetapi juga paradigma dan polah manusia sendiri yang seolah bermetamorfosis dalam menghadapinya.

Semua muslim menanti momen ini. Dari anak-anak hingga orang dewasa tak segan merindukannya. Karena setiap orang tahu, periode ini adalah periode yang sangat menguntungkan bila ditilik dengan hitungan matematis. Ada angka-angka yang membesar terkait kalkulasi amal, ada nilai-nilai yang mengganda mengenai rincian pahala, plus bonus yang agung menanti di sepertiga penghujung bulan, Lailatul Qodar. Lagi-lagi, Allah pun menjanjikan surga bagi siapa saja yang hanya dengan adanya ramadan hatinya merasa senang.

Selain mode penawaran yang jelas menggiurkan tadi, terdapat sesuatu yang jelas berbeda di bulan kemenangan ini. Aura yang cerah, hasrat yang menggelora, serta perasaan yang menyenangkan mudah sekali ditemui dalam mimik tiap-tiap individu. Dini hari menjadi waktu yang penuh dengan keriangan, pagi dan siang menjadi kala yang padat akan semangat dan penuh aktivitas, sore adalah ketika masa menanti begitu mengasyikan, dan petang adalah saat kebahagian berada di puncaknya, meluap, dan meledak dengan begitu frontal.

Ramadan, Piala Dunia, dan Pilpres
Menjadi sebuah kebetulan ketika ajang yang dinanti jutaan insan di dunia beririsan dengan ajang yang dinanti jutaan umat muslim di dunia. Ajang sepak bola antar negara di dunia yang dihelat empat tahun sekali itu kini bersamaan dengan Ramadan. Apa lagi ini kalau tak disebut dengan euforia yang berlipat?

Telah berhari-hari kita menikmati babak penyisihan grup serta perdelapan final piala dunia sembari menikmati setiap kunyahan saat bersantap sahur. Kita telah menyaksikan bagaimana Belanda mengalahkan Spanyol dengan skor 5-1, Jerman membuat Portugal menggigit jari, dan Inggris dilibas Italia−meski keduanya tak lolos ke babak berikutnya, juga pertandingan-pertandingan menarik lainnya. Waktu sahur menjadi lebih variatif, terdapat alternatif teman tontonan selain dagelan yang terkesan slapstick.

Piala dunia kini hendak memasuki perempat final. Ramadan pun bergegas menggapai kuartal kedua. Keduanya semakin menarik saja. Waktu benar-benar berjalan relatif lebih cepat ketika kesenangan benar-benar berada pada keemasannya. Setiap orang pun pasti sepakat untuk tak segera melewati kedua irisan waktu ini. “Aku ingin hidup seribu tahu lagi,” mungkin begitu kata Chairil Anwar.

Kemudian, ada pula yang menjadi polemik. Entah ini hal yang patut disyukuri atau bahkan dibutuhkan kewaspadaan khusus untuk menatapnya. Tentang pemilihan presiden. Pilpres adalah sebuah pesta, pesta demokrasi. Rakyat memiliki hak penuh memilih calon presidennya untuk lima tahun ke depan. Keputusan ini yang menentukan kapal besar Indonesia ini akan dibawa ke mana dalam lima tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun ke depan, beratus-ratus tahun ke depan.

Ada dua perspektif kontradiktif mengenai detik Ramadan terkait pemilihan presiden kali ini. Pertama, Ramadan menjadi momen yang baik untuk bangsa Indonesia dalam memohon pemimpin yang benar-benar mencintai rakyatnya, yang akan menjadikan Indonesia negeri yang makmur dan sejahtera, pemimpin yang akan melunasi cita-cita bangsa−melunasisi janji kemerdekaan. Ini adalah momen yang sangat bagus bagi kita untuk memohon. Bukan kah waktu terbaik terijabahnya doa sepenuhnya terjawab di bulan Ramadan ini? Kedua, pada Ramadan ini dibutuhkan kecermatan yang serius, kehati-hatian yang berlebih akan bersikap. Jangan sampai lidah kita tak terkontrol ketika berkampanye terhadap salah satu calon. Jangan pula fitnah tak tersaring untuk menjelek-jelekkan lawan. Juga, sikap tak terjaga ketika terprovokasi hasutan kawan debat. Pada titik ini, Ramadan menjadi fase yang cukup serius untuk dijalani dengan penuh rasa siaga, saksama, dan sangat cermat.

Ketiga irisan waktu atau momen ini menjadikan Ramadan kali ini menjadi satu dari siklus hidup yang sulit untuk terulang bertahun-tahun ke depan. Ini jelas ikhwal yang sangat menarik untuk disaksikan. Di pertengahan bulan ini, kita akan melihat peta kekuatan sepak bola dunia tentang siapa yang mengangkat piala di Rio De Janeiro. Di bulan ini pula kita akan melihat sosok yang menurut John C. Maxwell, “Know the way, goes the way, and show the way,” kita akan mengetahui siapa pemimpin kita. Mari terus menyaksikan dan menikmati setiap dentingan jarum jam yang terus menerus bergerak.

Piala dunia dan pilpres adalah irisan Ramadan paling manis.

Melawan

Ilustrasi : drimstime.com
“Sesuatu yang tak membunuhmu hanya akan membuatmu lebih kuat.”
­­­­−Friedrich Nietzsche.

Hakikatnya, hanya ada satu peperangan dengan dua kemungkinan. Melawan diri sendiri kemudian terbunuh karenanya atau berbalik membunuh. Mati atau menjadi lebih kuat.

Sungguh. Tubuh yang terdiri dari berjuta sel mikroskopis kompleks ini memiliki keterbatasan. Suatu nanti mereka akan berhenti bekerja. Darah akan berhenti mengalir dan jantung berhenti berdetak. Semua kompak terdiam. Entah esok, lusa, atau beberapa satuan waktu mendatang. Bisa saja di tempat tidur, di tangan penembak misterius hingga hilang, diracun dengan minuman dalam gelas di pesawat, atau bahkan menghisap gas beracun di puncak Mahameru. Entahlah.

Selain/sebelum mati, ada pula sebuah fase saat tubuh tak dalam performa terbaiknya yang dinamakan sakit. Jenisnya sangat beragam. Dari yang berskala ringan hingga sangat berat. Dari hanya tergores hingga terkapar tak berdaya. Dari masih dapat melakukan apa pun hingga bergerak pun sulit. Sakit ada karena manusia adalah sebuah karya cipta dengan penuh keterbatasan secara fisik. Tubuh benar-benar tak akan abadi.

Banyak hal yang menyebabkan rasa sakit ada (diberikan). Ujian, sebagai penggugur dosa, pengingat agar manusia tak angkuh, alarm bahwa kesehatan adalah hal yang sangat wajib disyukuri--namun pada dasarnya memang anatomi tubuh tak menjalankan fungsinya dengan baik. Dari hal-hal itu mestinya dihasilkan begitu banyak perenungan. Perenungan bahwa manusia memanglah makhluk tak berdaya sehingga harus beristirahat dengan cukup, berasupan yang benar-benar baik, olahraga yang benar dan teratur, serta terus bersyukur akan hidup dan berharganya menjadi sehat. Sakit ada untuk lahirnya sebuah perenungan.

Mari belajar dari Kuntowijoyo tentang sebuah rasa sakit. Seorang sastrawan, budayawan, dan guru besar di Universitas Gadjah Mada yang ketika itu sedang sakit. Tak tanggung-tanggung, beliau mengidap stroke, lumpuh, dan nyaris bisu. Lalu apa yang beliau lakukan? Dia masih sanggup untuk mengetik setengah halaman setiap hari dengan ide-ide yang masih berlari kecang di kepalanya (dikutip dari @zenrs). Artinya, seorang kuntowijoyo telah mengalahkan rasa sakitnya. Beliau melawan dan kemudian menang.

Sakit bagaikan sebuah penjara. Tubuh dibungkam untuk tak bisa melakukan hal dengan seenaknya. Rangkaian tulang-tulang dan daging ini dibatasi fungsinya untuk tak bepergian semaunya kemana pun, untuk tak leluasa bergerak dan berbuat sekehendak, bahkan dijejali sebuah rasa yang sama sekali tak menyenangkan. Kita harus melawan. Benar kata Hatta, bahwa bisa saja dirinya dipenjara dalam kerangkeng besi sekali pun namun pikirannya tetaplah bebas, dan akan selalu bebas. Kuntowijoyo telah melakukannya dengan sangat baik.

Rasa sakit begitu memberi kesan. Ketika pengalaman adalah guru terbaik, bagi saya, guru yang tak kalah baik adalah si rasa sakit itu. Bagaimana tidak, selain memberikan pelajaran, dia memaksa kita untuk melakukan sebuah perenungan mendalam mengenai hidup. Serta yang paling esensial adalah membuat kita menjadi lebih kuat bila bisa melewatinya sebagaimana yang Nietzsche telah katakan.

Melawan rasa sakit adalah peperangan terbesar melawan diri sendiri. Melawan rasa sakit adalah tentang bertahan untuk tak mengeluh. Tentang bersabar dalam kondisi terburuk. Tentang semangat untuk bangkit setelah terjatuh. Tentang berstrategi dengan lebih sistematis. Tentang melawan dan segera menjadi lebih kuat!

Life is Overrated!

Qarun dan Firaun seyogianya lahir di zaman ketika pendidikan strata dianggap sebagai hal yang esensial. Agar mereka bertemu dengan hal absurd berlabel tugas akhir dan dosen pembimbing. Niscaya mereka tak akan sepongah itu.

Enak sekali rasanya saat memasuki awal bangku perkuliahan. Tertawa terpingkal-pingkal hanya dengan membaca dengan khatam meme bertema mahasiswa, kehidupan mampus kampus. Terutama guyonan mengenai mahasiswa tingkat akhir yang tiada duanya. Dalam hati, “Sesusah itu ya? Masa sih? Gitu aja ga bisa.” Tak terasa memang, seakan baru saja mengepalkan tangan untuk push up dan sekarang harus mengepalkan tekad untuk segera mengakhiri ini. Keduanya berdarah-darah.

Dua jempol saya haturkan kepada kalian, teman-teman sebaya yang telah dipasangkan toga di kepalanya. Sungguh kalian bukan orang normal. Kalian sangat cakap, luar biasa. Mengatur waktu dengan sangat baik, menyusun rencana dengan sangat rapi, dan mengeksekusi itu semua dengan sadis. Salut. Setidaknya dengan itu saya harus berpikir ulang bahwa saya telah kalah melangkah dan harus segera berlari secepat mungkin.

Entahlah. Di kepala ini kok SEKARANG yang terbersit hanya keinginan untuk segera lulus. Kadang geli juga melihat teman lain di irisan waktu yang sama malah enak-enakan santai, bermain game tak kenal waktu, bahkan travelling (apalah itu namanya) manasuka. Bukan iri, melainkan geli. Di sisi satunya, terkesan juga dengan perjuangan rekan yang seolah kegiatannya revisi melulu. Dan berbagai problematik lain.

[Semua yang terbaik untuk kita, Kita punya draf dan pilihan hidup masing-masing. Silakan. Nikmati hidupmu, aku nikmati hidupku].

Analogi hidup bagi saya adalah permainan, sebuah game. Bumi adalah medan bermain. Hidup adalah tentang menyelesaikan misi satu per satu. Menikmatinya. Jika saja terlampau sulit, tenang, selalu ada solusi. Toh, game diciptakan pasti bisa selesai, kan? Dan hidup menurut saya adalah game termenyenangkan. Kita berlaku sebagai tokoh utama, wajah kita terpampang manis di cover dan menu utamanya.

Menjadi sarjana teknik agaknya merupakan tantangan yang sedang diemban saat ini. Tetap tertawa dan rileks saja dalam menapakinya. Pasti selesai. Sekiranya jiper dengan pembimbing juga penguji, gampang. Kiatnya hanya satu. Ingat yang menciptakan beliau-beliau saja. ”Pembimbing who? Your Creator is bigger.” Dan tetap tanam dalam-dalam dalam diri, "Ini hanya sebagian kecil. Masih banyak yang lebih besar. Niatkan saja sebagai ibadah.” Huft.

Jadi kembali teringat saat awal melakukan rutinitas pergi pagi dan pulang petang. Posisi saat matahari berada tepat di atas kepala adalah periode yang memuakan. Bagaimana tidak, yang kedua mata inginkan adalah terpejam. Ya, terpejam. Namun perlahan, kini tak lagi. Malah, 24 jam yang diberikan acap tak cukup. Justru sekarang saya hendak menyiapkan stok kopi untuk membalikan keadaan semula. Sedikit berusaha keras harus dilakukan ah. Persetan mau lulus bulan A, B, C, atau Z. Yang pasti sudah berencana, berusaha, melakukan yang terbaik.


Tulisan ini ditulis sekira dua jam. Setelah bel pulang berbunyi. Termasuk diselingi sholat dan minum air putih. Semoga menjadi pelecut. Trigger. Ingat, Gy. Ini hanya sebagian kecil, tak usah dibuat lebay. Ubah persektif. Ingat orang-orang yang mendoakanmu, menyemangatimu. Balas! Balas! Jawab doa dan teriakan mereka dengan senyum mereka sendiri. Senyum yang alasannya adalah karenamu. Sehingga kau pun ikut tersenyum, dan kemudian berkata Life is Overrated!