Lumba-lumba di Teluk Impian



"Tergantung nasib." Begitulah kiranya jawaban dari nahkoda yang bersama kami saat menuju laut lepas di atas jukung pasca kutanya kapan waktu yang tepat untuk melihat lumba-lumba di Teluk Kiluan.

Lampung. Sebuah provinsi di ujung selatan Pulau Sumatera ternyata memiliki segudang destinasi wisata yang bisa dibilang eksotik, khususnya di bidang tamasya bahari. Yang ternama barangkali, sebut saja Pulau Pahawang dan Kelagian. Lainnya masih menata diri dan berbenah, atau jangan-jangan masih banyak yang belum muncul ke permukaan. Satu yang tak lepas dari kesan menggoda bagiku ialah Teluk Kiluan.


Soal fasilitas sebagai sebuah objek wisata memang tak bisa dibandingkan dengan wisata-wisata tersohor macam Bali maupun Lombok. Di sana, di teluk nan seksi itu, kita tak akan menjumpai hotel-hotel mewah dengan taksi atau angkutan umum yang berjejer rapi dan siap mengantar kita ke mana saja. Yang berdiri tegak di pinggir-pinggir pantai, justru rumah-rumah sederhana dengan pondasi tertancap di bibir-bibir laut.


Laporan Kompas pada 2012 menyebutkan belum ada listrik sama sekali di sana. Bersyukur, di pergantian tahun baru 2018 sayup-sayup redup lampu yang temaram setidaknya sudah menghiasi jalan akses di lokasi. Banyak home stay yang malah terang benderang dengan lampu LED di dalamnya. Masjid dan warung-warung pun sudah cukup banyak. Artinya, sedikit demi sedikit Kiluan berkembang menampakkan status dirinya sebagai destinasi yang layak untuk dikunjungi.


Singgah di Kiluan layaknya kita mampir di satu perkampungan yang masih alami. Jauh dari hingar bingar Alfamart-Indomaret. Rumah berderet di sepanjang pantai. Jalan-jalannya meskipun bukan aspal hotmix yang mulus, namun lumayan memadai untuk dipijak kendaraan bermotor. Selain itu, Kiluan memiliki semacam ruang terbuka publik di depan masjid, sebagaimana alun-alun pada sebuah kota. Tempat bermain, berkumpul, atau mengadakan acara seremonial. Di beberapa bahkan spot sudah ada yang menjual pernik oleh-oleh untuk dibawa pulang. Kategori yang sangat pas sebagai bagian tempat berlibur.


Warga di sana cukup ramah. Sekonyong-konyong terdengar percakapan berbahasa Sunda. Yang memang ternyata, banyak masyarakatnya berasal dari Banten, menyebrang ke Lampung, menetap, dan bermata pencaharian di sana.


Berburu Lumba-lumba

Jualan utama atau tujuan turis datang ke Kiluan ialah melihat lumba-lumba di lautan terbuka. Pagi-pagi betul sekitar pukul 5.30, sesaat sebelum matahari terbit, kami—ketika itu, mesti sudah siaga melaut. Berbekal jukung, pelampung, dan kamera di tangan, idealnya sudah siap untuk menyaksikan lumba-lumba dengan mata telanjang dan merekamnya dengan gawai. Mungkin saja ini adalah yang pertama dan satu-satunya momen semasa kita hidup dan entah akan terulang lagi.

Jukung ialah sebuah perahu dengan satu mesin kincir penggerak dengan kapasitas hanya untuk tiga penumpang dan satu nahkoda. Relatif kecil untuk ukuran sebuah perahu yang diproyeksikan untuk menantang samudera. Satu lagi, tanpa atap. Bukan perkara berani atau tidak. Aman atau berbahaya. Yang mesti digarisbawahi, menaiki jukung memang memicu adrenalin. Bermodal percaya pada sang nahkoda dan setumpuk keinginan berjumpa dengan lumba-lumba, rasanya sudah lebih dari cukup untuk melangkahkan kaki dan duduk di atasnya.


Perahu dipacu menjauh dari pantai. Satu, dua, tiga... ratusan meter menjangkau laut lepas. Awan mendung, matahari nampak malu-malu sesekali saja muncul dan kembali termggelam. Gerimis pun menerjang. Gelombang sangat besar bergoyang naik dan turun memukul-mukul perahu dan juga nyali kami. Mesin penggerak ditarik lagi tuasnya agar perahu bergerak lebih kencang sebagai ikhtiar menahan gempuran air. Benar saja, jantung berdegap kencang akibat kombinasi perahu yang deras meluncur dan gerimis yang tak kalah deras pula turun.


Kurang lebih 30 menit—jika saya tak salah ingat—untuk kita tiba di titik pencarian lumba-lumba. Hujan reda, perahu melambat. Bapak nahkoda yang sedari tadi cukup serius dan hanya sesekali bicara, tiba-tiba berteriak cukup lantang di antara gemuruh angin dan perahu yang merangkak pelan, “Lihat itu, di sebelah kanan!” sembari telunjuknya mengarah ke suatu tempat. Kami bertiga menoleh ke arah yang ditunjuk dan mencari-cari lumba-lumba yang siapa tahu menampakkan dirinya. Namun nihil, kami cuma melihat hamparan air biru kelam sepanjang mata menatap. Dalam hati, “Jangan-jangan kami memang tak bernasib baik untuk sekadar bertemu lumba-lumba, apalagi untuk menaklukan hidup.”


Saya berinisiatif untuk duduk lebih tinggi lagi dibanding posisi semula di atas kayu yang melintang di antara badan perahu. Dengan begitu, jangkauan pandangan semestinya bisa lebih luas. Mata menoleh ke kiri dan ke kanan. Seketika kembali terkaget sebab sahutan salah satu dari kami yang tanpa jeda terus menerus berkata, “Itu. Itu. Itu. Lumba-lumbanya banyak banget.” Mata yang sedari tadi bolak-balik berputar pun, kini menemukan jawabnya. Tombol rekam gawai saat itu juga ditekan demi mengekalkan momen yang langka ini. Yang membuat lega: ternyata kami, tepatnya aku, tak bernasib sial betul. Setidaknya untuk kali ini.


Taruhan kami di atas jukung: nyali yang semenjak awal dikumpulkan, lantas diterpa badai kecil yang kemudian berlalu saat berangkat, akhirnya terbayar tuntas. Kami dapat berkejaran beriringan dengan lumba-lumba di Kiluan.


Pulau Kelapa dan Laguna Gayau

Puas berputar-putar berburu, perahu menepi di sebuah pantai. Pasir putih menghampar tak begitu luas, relatif kecil bahkan. Air laut yang kelam berubah cerah ceria berwarna biru kehijauan. Ombak yang menyalak ganas berganti air yang jinak dan menenangkan. Pohon kelapa dan pohon-pohon berdaun lebat lainnya bahu membahu membuat pantai menjadi teduh. Entahlah, gambaran pantai ideal yang lama mengendap di kepala saat berhiruk pikuk dengan kesibukan, rasa-rasanya, lagi-lagi, seperti khayalan yang mewujud.

Dua anak lelaki kecil dengan tanpa mengenakan baju bermain pasir pantai membuat bangunan istana ketika kutanya. Mereka menunggu ombak tenang di pantai itu untuk merobohkannya. Tenda-tenda berdiri di bawah pepohonan. Banyak anak muda yang menghabiskan malam mereka dengan mendengar nyanyian angin dan belaian alam. Lainnya terlihat berpose dengan latar belakang papan reklame kecil bertuliskan Pulau Kiluan.


Tak terlalu lama singgah di sana. Padahal asin airnya memanggil-manggil tubuh untuk berenang dan sejenak melepas penat. Sayang sekali rasanya, karena kawan-kawan lain sudah mengajak bergegas ke titik tuju selanjutnya: Laguna Gayau. Sehingga kami tak sempat basah-basahan dan lebih jauh menikmati anginnya. Mungkin lain kali harus datang ke sini lagi untuk camping dan habis-habisan bergumul dengan si pantai cantik ini.


Menuju Laguna Gayau, kita menapaki jalan setapak dengan morfologi naik dan turun yang lumayan curam di sisi jalan. Sudah tentu, menghasilkan keringat yang tak sedikit dan usaha yang cukup besar. Maka bersiap saja dengan air minum dan barang yang tak kelewat berat untuk dibawa. Di sepanjang jalan banyak pepohonan yang hijau dan rindang. Sempat bahkan saya melihat tanaman kopi di beberapa titik di jalur tracking.


Perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan setelah turunan terakhir coba dilunasi dengan sajian penutup berupa pemandangan karang yang menghampar di pinggir laut. Ombak keras menghantam deretam karang. Ada semacam kolam alami yang tak terlalu besar yang dibatasi karang-karang di sekelilingnya, dan terpisah dengan laut. Airnya jernih dan tenang, nyaris tak ada arus yang berarti. Barangkali itulah yang disebut lagun. Kita dapat dengan tenang berenang di sana. Namun, harus cukup berhati-hati dengan hentakan-hentakan ombak-ombak deras yang terus menghantam karang.


Itulah Kiluan, si Teluk impian. Paket yang bukan hanya lumayan lengkap untuk berlibur, melainkan juga menambah momen serta pengalaman yang menurut saya mahal harganya. Sensasi melawan laut di atas jukung, kawanan lumba-lumba yang menari, pantai yang biru dan elok, drama tracking dan lagun yang jarang juga kita temui di pantai-pantai lain. Seperti juga nasib baik yang membawa kita bertemu lumba-lumba, semoga nasib baik selalu menyertai kita pula di sepanjang hidup.


Chandra Egy Setiawan