Life is Overrated!

Qarun dan Firaun seyogianya lahir di zaman ketika pendidikan strata dianggap sebagai hal yang esensial. Agar mereka bertemu dengan hal absurd berlabel tugas akhir dan dosen pembimbing. Niscaya mereka tak akan sepongah itu.

Enak sekali rasanya saat memasuki awal bangku perkuliahan. Tertawa terpingkal-pingkal hanya dengan membaca dengan khatam meme bertema mahasiswa, kehidupan mampus kampus. Terutama guyonan mengenai mahasiswa tingkat akhir yang tiada duanya. Dalam hati, “Sesusah itu ya? Masa sih? Gitu aja ga bisa.” Tak terasa memang, seakan baru saja mengepalkan tangan untuk push up dan sekarang harus mengepalkan tekad untuk segera mengakhiri ini. Keduanya berdarah-darah.

Dua jempol saya haturkan kepada kalian, teman-teman sebaya yang telah dipasangkan toga di kepalanya. Sungguh kalian bukan orang normal. Kalian sangat cakap, luar biasa. Mengatur waktu dengan sangat baik, menyusun rencana dengan sangat rapi, dan mengeksekusi itu semua dengan sadis. Salut. Setidaknya dengan itu saya harus berpikir ulang bahwa saya telah kalah melangkah dan harus segera berlari secepat mungkin.

Entahlah. Di kepala ini kok SEKARANG yang terbersit hanya keinginan untuk segera lulus. Kadang geli juga melihat teman lain di irisan waktu yang sama malah enak-enakan santai, bermain game tak kenal waktu, bahkan travelling (apalah itu namanya) manasuka. Bukan iri, melainkan geli. Di sisi satunya, terkesan juga dengan perjuangan rekan yang seolah kegiatannya revisi melulu. Dan berbagai problematik lain.

[Semua yang terbaik untuk kita, Kita punya draf dan pilihan hidup masing-masing. Silakan. Nikmati hidupmu, aku nikmati hidupku].

Analogi hidup bagi saya adalah permainan, sebuah game. Bumi adalah medan bermain. Hidup adalah tentang menyelesaikan misi satu per satu. Menikmatinya. Jika saja terlampau sulit, tenang, selalu ada solusi. Toh, game diciptakan pasti bisa selesai, kan? Dan hidup menurut saya adalah game termenyenangkan. Kita berlaku sebagai tokoh utama, wajah kita terpampang manis di cover dan menu utamanya.

Menjadi sarjana teknik agaknya merupakan tantangan yang sedang diemban saat ini. Tetap tertawa dan rileks saja dalam menapakinya. Pasti selesai. Sekiranya jiper dengan pembimbing juga penguji, gampang. Kiatnya hanya satu. Ingat yang menciptakan beliau-beliau saja. ”Pembimbing who? Your Creator is bigger.” Dan tetap tanam dalam-dalam dalam diri, "Ini hanya sebagian kecil. Masih banyak yang lebih besar. Niatkan saja sebagai ibadah.” Huft.

Jadi kembali teringat saat awal melakukan rutinitas pergi pagi dan pulang petang. Posisi saat matahari berada tepat di atas kepala adalah periode yang memuakan. Bagaimana tidak, yang kedua mata inginkan adalah terpejam. Ya, terpejam. Namun perlahan, kini tak lagi. Malah, 24 jam yang diberikan acap tak cukup. Justru sekarang saya hendak menyiapkan stok kopi untuk membalikan keadaan semula. Sedikit berusaha keras harus dilakukan ah. Persetan mau lulus bulan A, B, C, atau Z. Yang pasti sudah berencana, berusaha, melakukan yang terbaik.


Tulisan ini ditulis sekira dua jam. Setelah bel pulang berbunyi. Termasuk diselingi sholat dan minum air putih. Semoga menjadi pelecut. Trigger. Ingat, Gy. Ini hanya sebagian kecil, tak usah dibuat lebay. Ubah persektif. Ingat orang-orang yang mendoakanmu, menyemangatimu. Balas! Balas! Jawab doa dan teriakan mereka dengan senyum mereka sendiri. Senyum yang alasannya adalah karenamu. Sehingga kau pun ikut tersenyum, dan kemudian berkata Life is Overrated!