![]() |
Mike Hewitt/Getty Images |
Ramadan adalah fenomena. Bukan sekadar
hitungan hari, melainkan sebuah destinasi waktu.
Tak adil rasanya membandingkan
Ramadan dengan bulan-bulan lain. Allah jelas menyebutnya raja dari aneka bulan.
Sebuah bulan monemental saat segala hal yang ada di dalamnya menjadi istimewa
dan berbeda. Tak hanya pelipatgandaan pahala dan ampunan yang dijanjikan khusus
pada bulan ini, tetapi juga paradigma dan polah manusia sendiri yang seolah
bermetamorfosis dalam menghadapinya.
Semua muslim menanti momen ini.
Dari anak-anak hingga orang dewasa tak segan merindukannya. Karena setiap orang
tahu, periode ini adalah periode yang sangat menguntungkan bila ditilik dengan
hitungan matematis. Ada angka-angka yang membesar terkait kalkulasi amal, ada
nilai-nilai yang mengganda mengenai rincian pahala, plus bonus yang agung
menanti di sepertiga penghujung bulan, Lailatul
Qodar. Lagi-lagi, Allah pun menjanjikan surga bagi siapa saja yang hanya dengan
adanya ramadan hatinya merasa senang.
Selain mode penawaran yang jelas
menggiurkan tadi, terdapat sesuatu yang jelas berbeda di bulan kemenangan ini. Aura
yang cerah, hasrat yang menggelora, serta perasaan yang menyenangkan mudah
sekali ditemui dalam mimik tiap-tiap individu. Dini hari menjadi waktu yang
penuh dengan keriangan, pagi dan siang menjadi kala yang padat akan semangat
dan penuh aktivitas, sore adalah ketika masa menanti begitu mengasyikan, dan
petang adalah saat kebahagian berada di puncaknya, meluap, dan meledak dengan begitu
frontal.
Ramadan,
Piala Dunia, dan Pilpres
Menjadi sebuah kebetulan ketika ajang
yang dinanti jutaan insan di dunia beririsan dengan ajang yang dinanti jutaan
umat muslim di dunia. Ajang sepak bola antar negara di dunia yang dihelat empat
tahun sekali itu kini bersamaan dengan Ramadan. Apa lagi ini kalau tak disebut
dengan euforia yang berlipat?
Telah berhari-hari kita
menikmati babak penyisihan grup serta perdelapan final piala dunia sembari
menikmati setiap kunyahan saat bersantap sahur. Kita telah menyaksikan bagaimana
Belanda mengalahkan Spanyol dengan skor 5-1, Jerman membuat Portugal menggigit
jari, dan Inggris dilibas Italia−meski keduanya tak lolos ke babak berikutnya, juga
pertandingan-pertandingan menarik lainnya. Waktu sahur menjadi lebih variatif,
terdapat alternatif teman tontonan selain dagelan yang terkesan slapstick.
Piala dunia kini hendak memasuki
perempat final. Ramadan pun bergegas menggapai kuartal kedua. Keduanya semakin
menarik saja. Waktu benar-benar berjalan relatif lebih cepat ketika kesenangan
benar-benar berada pada keemasannya. Setiap orang pun pasti sepakat untuk tak
segera melewati kedua irisan waktu ini. “Aku
ingin hidup seribu tahu lagi,” mungkin begitu kata Chairil Anwar.
Kemudian, ada pula yang menjadi
polemik. Entah ini hal yang patut disyukuri atau bahkan dibutuhkan kewaspadaan
khusus untuk menatapnya. Tentang pemilihan presiden. Pilpres adalah sebuah
pesta, pesta demokrasi. Rakyat memiliki hak penuh memilih calon presidennya
untuk lima tahun ke depan. Keputusan ini yang menentukan kapal besar Indonesia
ini akan dibawa ke mana dalam lima tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun ke
depan, beratus-ratus tahun ke depan.
Ada dua perspektif kontradiktif mengenai
detik Ramadan terkait pemilihan presiden kali ini. Pertama, Ramadan menjadi
momen yang baik untuk bangsa Indonesia dalam memohon pemimpin yang benar-benar
mencintai rakyatnya, yang akan menjadikan Indonesia negeri yang makmur dan
sejahtera, pemimpin yang akan melunasi cita-cita bangsa−melunasisi janji
kemerdekaan. Ini adalah momen yang sangat bagus bagi kita untuk memohon. Bukan
kah waktu terbaik terijabahnya doa sepenuhnya terjawab di bulan Ramadan ini? Kedua,
pada Ramadan ini dibutuhkan kecermatan yang serius, kehati-hatian yang berlebih
akan bersikap. Jangan sampai lidah kita tak terkontrol ketika berkampanye
terhadap salah satu calon. Jangan pula fitnah tak tersaring untuk
menjelek-jelekkan lawan. Juga, sikap tak terjaga ketika terprovokasi hasutan
kawan debat. Pada titik ini, Ramadan menjadi fase yang cukup serius untuk
dijalani dengan penuh rasa siaga, saksama, dan sangat cermat.
Ketiga irisan waktu atau momen
ini menjadikan Ramadan kali ini menjadi satu dari siklus hidup yang sulit untuk
terulang bertahun-tahun ke depan. Ini jelas ikhwal yang sangat menarik untuk
disaksikan. Di pertengahan bulan ini, kita akan melihat peta kekuatan sepak
bola dunia tentang siapa yang mengangkat piala di Rio De Janeiro. Di bulan ini
pula kita akan melihat sosok yang menurut John C. Maxwell, “Know the way, goes the way, and show the way,”
kita akan mengetahui siapa pemimpin kita. Mari terus menyaksikan dan menikmati
setiap dentingan jarum jam yang terus menerus bergerak.
Piala dunia dan pilpres adalah irisan Ramadan
paling manis.