Pria yang Menunggu Kelulusan


“Nak, kapan kaupulang? Adikmu mulai magang di puskesmas desa dan ingin segera menikah.”



***

Seorang anak muda yang dikenal pintar di kampungnya sejak kecil, saat ini sedang termangu. Ia sampai tak habis pikir bagaimana bisa manusia sepertinya yang percaya diri bahkan sering kali sombong di hadapan orang, sekarang sedang dipecundangi. Bukan oleh orang jahat, bukan. Melainkan kondisinya sendiri.


Setiap hari kerjanya hanya mengurung diri di kamar. Tak pernah dan tak ingin sama sekali bersosialisasi dengan tetangga apalagi kawan-kawan mainnya. Raganya tak sakit sama sekali, ia merasa tak ada yang salah dengan tubuhnya. Yang dirasakannya malah sesuatu yang imajiner, bagai ada batu begitu besar mengganjal hatinya. Diam, menyendiri, dan termenung adalah rutinitas wajibnya kini—menikmati tiap sengatan “sakit” yang menyulut. Ia resmi menjadi “manusia kamar” yang tergambar jelas dalam sebuah cerpen Seno Gumira Ajidarma.


Para tetangga merasa iba. Salah satu dari mereka menyarankan untuk berobat ke mantri. Alih-alih harus berobat, untuk makan pun ia hanya mampu berlauk telur ayam setiap hari. 


Karena tak kuat menahan sakitnya, di malam yang lumayan dingin, berbekal uang dari celengan yang dipecahkan, ia memaksakan pergi ke rumah seorang dukun. Sebuah keputusan yang akhirnya mendadak ia buat. Ini langkah yang lebih hemat, pikirnya, daripada pergi berobat melalui medis.


Rumah dukun yang cukup masyhur itu berada di tepi Gunung Harendong. Sebuah gunung di antara makam-makam orang Cina. Dan beginilah kata dukun yang ketika malam dingin itu ia sambangi, dirinya akan segera terbebas dari belenggu yang mendera ketika sesuatu yang bernama kelulusan datang dan memeluknya erat.


Awalnya ia sama sekali tak percaya. Toh, menurutnya orang lain masih sehat dan senang-senang saja tanpa berjodoh dengan si kelulusan ini. Namun, semakin hari batinnya semakin merasa terpenjara. Ia semakin sulit lepas dari jeratan perasaannya. Barulah di titik itu ia beranggapan bahwa tak ada salahnya percaya omongan si dukun. Mungkin saja benar apa yang dikatakan pria berjanggut putih yang ditemuinya di malam yang dingin.


Sejak saat itu, ia terus menerus berpikir bagaimana caranya bertemu dengan kelulusan. Si dukun tak memberikan deskripsi lengkap, sambil terpejam komat-kamit dukun hanya menyebut satu kata: kelulusan. Harapannya terhadap kelulusan tak muluk-muluk langsung bertemu apalagi dengan erat dipeluk, minimal bisa melihat wajahnya saja sudah syukur. Langkah lanjutnya entah nanti.


Ide-ide mengenai cara bertemu kelulusan berseliweran di kepala. Saat makan, merokok, sampai-sampai saat jongkok di toilet. Ia mencatatnya. Malam-malamnya pun ditaburi mimpi-mimpi tentang kelulusan. Kadang kelulusan datang bagai wanita yang berparas cantik dan dengan malu-malu mendekapnya. Di mimpi yang lain seperti sosok manusia bertubuh besar memiliki wajah yang sangat seram perlahan menghampirinya. Namun, pernah pula kelulusan datang berwujud badai angin dan meluluhlantakkan kamarnya saat tertidur.


Dengan sangat hati-hati ia memilah ide-ide yang telah ditulis di catatan kecilnya. Menyusun berdasarkan parameter prioritasnya sendiri. Dan ia bertekad siap menjalankan idenya satu per satu. Ia ingin segera sembuh dan kembali beraktivitas sebagaimana ia biasa lakukan lagi.


Rencana dimulai dengan bertanya pada siapa pun yang ada di pasar ikan persis sebelah utara tempat tinggalnya. Ia mengawali dengan memesan secangir kopi di warung. Strateginya jelas: bertanya pada siapa pun, tentang siapa dan seperti apa rupa kelulusan yang hingga saat ini masih mengganggu hatinya. Dari pukul delapan pagi hingga sore menuju senja, setiap orang yang berada di warung juga yang melintas di halaman khatam ia tanyai, namun tak seorang pun yang tahu. Ia pun pulang dengan kehampaan.


Di hari berikutnya ia melakukan hal bertolak belakang dengan agenda sebelumnya. Ia pergi ke hutan dan sungai-sungai, barang kali dalam pikirnya kelulusan berupa benda mati yang senang menyendiri di alam. Ditelusurinya hutan dan sungai-sungai di daerahnya demi bertemu penawar racun yang perlahan menggerogoti dirinya. Yang ditemukannya pun hanyalah onggokan batu-batu bisu berbentuk bundar lebih besar dari kepalanya. Kelulusan tak ada sama sekali, tak pernah muncul.


Konsep-konsep yang lain pun ia jajaki. Dari semua, tak ada satu pun yang membuatnya bertemu dengan kelulusan.



***


Di dekat sudut rak buku, seorang Ibu duduk berhadapan dengan anak gadisnya. Bapak belum pulang dari ladang hingga petang. Katanya sedang lembur, seperti biasa di akhir bulan pesanan hasil panennya meningkat pesat. Ia harus mengepaki kentang-kentang berwarna ungu yang menjadi komoditas produksinya.


Anak gadis yang baru pulang magang di sebuah puskesmas memulai percakapan dengan menanyakan kabar wanita yang melahirkan dan merawatnya sejak kecil. Akhir-akhir ini beliau sering kali mendadak pusing dan sakit-sakitan. Sering kali pula warung miliknya tutup lebih awal karena ia sudah tak kuat lama terjaga. Setelah sedikit berbasi-basi sambil memijat-mijat kaki ibunya yang terselonjor, anak gadis itu tiba-tiba menyergap dengan tanya, “Bu, Aa kapan pulang? Eneng sudah ditanya sama Dendi ‘Sudah siap menikah apa belum?’ katanya.”


Ibunya menggelengkan kepala, ia tahu anak sulungnya yang pria itu sedang merantau dan belum juga lekas pulang. Kabar terakhir anaknya melalui pesan singkat kemarin lusa bahwa ia sedang tak sedap hati dan belum bisa menyelesaikan pekerjaannya di perantauan. Tentu saja, kondisi ini membuat wanita tua itu semakin tak kerasan. Ia hanya bisa mendoakan anaknya dari kejauhan sembari sesekali berkabar melalui alat telekomunikasi anak gadisnya.



***

Genap sebulan sejak malam dingin itu, ia kembali datang pada sang dukun dan segera bertanya apa gerangan yang menyebabkan tak jua ditemuinya kelulusan. Dukun itu, sambil terpejam mengusap-usap janggutnya, kali ini mengatakan bahwa sebenarnya kelulusan datang beberapa waktu yang lalu. Namun pria ini tak bersungguh-sungguh menemuinya sehingga gejolak perasaan pun tak terhindarkan. Dengan kata lain, kelulusan marah.


Pria yang belum menemukan kelulusan pun bingung kapan waktu itu kelulusan datang menghampirinya. Dukun kemudian menyarankan pria itu untuk menunggu termasuk melanjutkan usaha yang telah dimulainya. “Akhirilah apa yang telah kamu mulai, kelulusan akan segera tiba,” katanya.


Ia memang selalu percaya satu hal. Selalu ada kesempatan berikutnya ketika hati begitu teguh dan usaha begitu kekal. Menurutnya datangnya kelulusan adalah sebuah keniscayaan, sama halnya seperti kematian yang cepat atau lambat akan merenggut tiupan nafasnya. Ia semakin yakin dengan apa yang ia percayai. Ia menunggu dan menunggu.



***


Begitu saja ia terbangun, tanpa sadar matahari telah berada tepat di atas kepalanya. Tadi malam ia sukar terlelap, seperti biasa ia harus bergelut terlebih dulu dengan perasaannya sebelum matanya benar-benar terpejam. Ada satu pesan yang ia ingat di mimpinya fajar tadi. Di mimpi itu, ia berada dalam situasi yang sangat gelap, berdiri dan menunggu hal yang tak pasti. Kemudian lirih terdengar suara yang begitu merdu, “Aku akan datang purnama bulan ini, tunggu aku dengan berani.”


Ia ingat, begitu ingat. Suara di mimpinya lirih, begitu lirih. Bulan ini adalah bulan kelima sejak malam dingin itu. Dan lima hari lagi, purnama akan segera datang menampakkan semburatnya. Segera ia menggenggam handphone-nya dan mengabarkan segera pulang kepada adik perempuannya sekitar seminggu lagi. Biasanya setelah mendapat kabar semacam itu, sang adik memberi tahu ibunya selepas pulang dari Puskesmas.


Ia, pria itu, begitu antusias menunggu purnama bulan ini. Tak seperti purnama di bulan lain, yang ia biarkan lalu begitu saja. Namun tetap, gelombang antusiasme tak bisa menutupi rasa sakitnya. Cedera hatinya makin menjadi-jadi.



***

Dan sekarang adalah saat purnama tinggal sehari lagi. Ibu dan adiknya yang kebetulan sedang libur, memaksakan diri menengok sang sulung di perantauan. Mereka sengaja tak memberi tahu akan datang. Niatnya memang ingin memberi kejutan. Si ibu merasa sangat rindu pada anaknya. Meskipun ia akan segera pulang, namun ibu merasa dirinya harus datang berkunjung. Harus. Setelah sebelumnya bersikeras meminta izin pada suaminya hingga ujungnya direstui.


Singkatnya, mereka telah tiba di halaman kontrakan tempat sang anak tinggal. Sebuah kontrakan kumuh yang terdiri tak lebih dari sepuluh kamar. Mereka menenteng oleh-oleh yang mereka bawa dari rumah. Di gerbang mereka berpapasan dengan seorang pria muda dengan jaket lusuh di pundaknya. Ibu memulai menyapa dan menanyakan ihwal anaknya. Pria itu menjawab bahwa sejak pagi anaknya belum jua keluar kamar.


Purnama tinggal beberapa jam. Kelulusan hampir datang untuk segera merobohkan tembok besar di dada pria yang telah menderita berbulan-bulan. Ibu dan anak perempuannya berjalan perlahan menuju kamar paling pojok belakang di kontrakan itu. Entah sejak kapan, gerimis pun turun tanpa permisi.



Sang ibu telah berada di depan pintu kamar dan mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tak ada suara sama sekali dari dalam. Pintu pun diketuk lagi. Tak ada pula yang menjawab. Ibu lantas menggerakan tangkai pintu, membukanya. Dan dilihat anak sulungnya sedang terkapar. Ia mendekat. Ia mendapati anaknya yang terkapar sedang tersenyum namun tak bernapas. Pria itu telah mati. Ia telah mati menunggu kelulusan.