Melawan

Ilustrasi : drimstime.com
“Sesuatu yang tak membunuhmu hanya akan membuatmu lebih kuat.”
­­­­−Friedrich Nietzsche.

Hakikatnya, hanya ada satu peperangan dengan dua kemungkinan. Melawan diri sendiri kemudian terbunuh karenanya atau berbalik membunuh. Mati atau menjadi lebih kuat.

Sungguh. Tubuh yang terdiri dari berjuta sel mikroskopis kompleks ini memiliki keterbatasan. Suatu nanti mereka akan berhenti bekerja. Darah akan berhenti mengalir dan jantung berhenti berdetak. Semua kompak terdiam. Entah esok, lusa, atau beberapa satuan waktu mendatang. Bisa saja di tempat tidur, di tangan penembak misterius hingga hilang, diracun dengan minuman dalam gelas di pesawat, atau bahkan menghisap gas beracun di puncak Mahameru. Entahlah.

Selain/sebelum mati, ada pula sebuah fase saat tubuh tak dalam performa terbaiknya yang dinamakan sakit. Jenisnya sangat beragam. Dari yang berskala ringan hingga sangat berat. Dari hanya tergores hingga terkapar tak berdaya. Dari masih dapat melakukan apa pun hingga bergerak pun sulit. Sakit ada karena manusia adalah sebuah karya cipta dengan penuh keterbatasan secara fisik. Tubuh benar-benar tak akan abadi.

Banyak hal yang menyebabkan rasa sakit ada (diberikan). Ujian, sebagai penggugur dosa, pengingat agar manusia tak angkuh, alarm bahwa kesehatan adalah hal yang sangat wajib disyukuri--namun pada dasarnya memang anatomi tubuh tak menjalankan fungsinya dengan baik. Dari hal-hal itu mestinya dihasilkan begitu banyak perenungan. Perenungan bahwa manusia memanglah makhluk tak berdaya sehingga harus beristirahat dengan cukup, berasupan yang benar-benar baik, olahraga yang benar dan teratur, serta terus bersyukur akan hidup dan berharganya menjadi sehat. Sakit ada untuk lahirnya sebuah perenungan.

Mari belajar dari Kuntowijoyo tentang sebuah rasa sakit. Seorang sastrawan, budayawan, dan guru besar di Universitas Gadjah Mada yang ketika itu sedang sakit. Tak tanggung-tanggung, beliau mengidap stroke, lumpuh, dan nyaris bisu. Lalu apa yang beliau lakukan? Dia masih sanggup untuk mengetik setengah halaman setiap hari dengan ide-ide yang masih berlari kecang di kepalanya (dikutip dari @zenrs). Artinya, seorang kuntowijoyo telah mengalahkan rasa sakitnya. Beliau melawan dan kemudian menang.

Sakit bagaikan sebuah penjara. Tubuh dibungkam untuk tak bisa melakukan hal dengan seenaknya. Rangkaian tulang-tulang dan daging ini dibatasi fungsinya untuk tak bepergian semaunya kemana pun, untuk tak leluasa bergerak dan berbuat sekehendak, bahkan dijejali sebuah rasa yang sama sekali tak menyenangkan. Kita harus melawan. Benar kata Hatta, bahwa bisa saja dirinya dipenjara dalam kerangkeng besi sekali pun namun pikirannya tetaplah bebas, dan akan selalu bebas. Kuntowijoyo telah melakukannya dengan sangat baik.

Rasa sakit begitu memberi kesan. Ketika pengalaman adalah guru terbaik, bagi saya, guru yang tak kalah baik adalah si rasa sakit itu. Bagaimana tidak, selain memberikan pelajaran, dia memaksa kita untuk melakukan sebuah perenungan mendalam mengenai hidup. Serta yang paling esensial adalah membuat kita menjadi lebih kuat bila bisa melewatinya sebagaimana yang Nietzsche telah katakan.

Melawan rasa sakit adalah peperangan terbesar melawan diri sendiri. Melawan rasa sakit adalah tentang bertahan untuk tak mengeluh. Tentang bersabar dalam kondisi terburuk. Tentang semangat untuk bangkit setelah terjatuh. Tentang berstrategi dengan lebih sistematis. Tentang melawan dan segera menjadi lebih kuat!