Saya adalah urban. Seorang kelana yang
mempertaruhkan takdir di gurun bernama Jakarta. Beberapa hari agaknya adalah waktu yang tak terbilang sekejap. Ini yang
katanya pusat segala hal di negeriku. Termasuk kepenatan dan kejenuhan. Benar
saja, orang-orang tak pernah berbohong akan hal semacam itu.
Memang hidup adalah bagaimana cara kita
memandangnya. Namun ya, kita memang memandang deretan fakta yang seolah tak
manusiawi disini. Frase yang terutarakan di hari pertama menuju kota ini pun adalah
kutukan. Kutukan terhadap para pemegang kebijakan yang terhormat. Rasa-rasanya
mereka tak bijak sama sekali mengurus bangsanya, bangsaku. Dan diriku pun
mungkin tak bijak mengurus emosi di hadapan realitas yang menyebalkan.
Akan terlalu sadis mengatakan bahwa kota terbesar
di Indonesia adalah kepingan neraka yang ada di bumi. Karena jelas dalam satu
dimensi yang sama merupakan surga dewa-dewa penguasa kapitalis. Surga dan
neraka ternyata ada, bukan fatamorgana.
Gambaran neraka sendiri tersurat dalam
ajaran-ajaran agama, yaitu berupa suatu tempat yang sangat menyeramkan, terdiri
dari api yang menjilat-jilat, darah yang mengalir-menggenang, dan benda-benda berwarna
merah menyala lainnya.
Bumi pun memiliki prototipe tak kalah
menyeramkan. Cukup begini penggambarannya : Stasiun yang rapi, bersih,
terbilang hi-tec dengan penggunaan
kartu elektronik bersaldo sebagai pengganti karcis. Orang-orang berdiri rapi
mengantri giliran menempelkan kartu mereka. Dan dengan sabar menunggu di depan
rel, menanti kereta yang akan segera datang. Beberapa menghisap tembakaunya
persis di bawah larangan merokok. Sementara di luar terdengar hiruk seseorang
berpengeras suara meminta sumbangan jariyah dengan retorika persis Zainudin MZ.
Bunyi bel tanda kedatangan kereta pun terdengar,
orang-orang sigap memasuki pintu kereta yang terbuka dengan sendirinya dan
telah dinanti ratusan orang di dalam yang penuh sesak. Masuk pun harus beradu
badan. Tentu, di dalam bukanlah lapangan sepakbola yang luas. Sesak. Pengap. Tak
bisa bergerak. Kipas angin yang berhembus hanyalah sebagai variasi bagi orang
yang berada jauh di dekat pintu. Dan inilah bagian paling menyiksa, saat
orang-orang dari stasiun lain masuk. Badan bergerak lebih dalam, terhimpit,
makin sesak. Yang bisa dilakukan hanyalah tersenyum. Begitu pun untuk turun,
saya sudah malas menggambarkannya.
Surga di bumi benarlah hanya angan. Hanya
tercipta di jiwa, berupa perasaan menikmati berbalut ketenangan, dan bertopeng
senyum. Prototipenya sangat sulit dijadikan nyata.
Inilah negeriku. Permasalahannya terlalu
konkret. Yang membuatku takut adalah saat segala keniscayaan ini berjalan
terus-menerus dan menjadi sebuah kewajaran, sebuah hal yang dianggap biasa oleh
semua orang. Sehingga para pemimpin dan semua stake holder—termasuk juga masyarakat—benar-benar menyatakan bahwa ini adalah keadaan normal dan tak
perlu direformasi sedikit pun. Padahal jelas, kita tengah berada di sebuah bui
yang tak dibenarkan nyaman sama sekali.
Mari berjuang untuk tak terbuai pada kenormalan
semu. Mari hidup nyaman, manusiawi, di tempat yang kita cinta. Mari hidup di
prototipe surga. Mari. Menuju utopia.