Majunya-mundurnya suatu
bangsa bergantung sumber daya manusianya. Kita telah sama-sama tahu bahwa
Jepang pernah menantang Indonesia untuk saling bertukar negara secara
geografis. Dengan catatan, Indonesia dipersilakan untuk membawa apa pun dari
negaranya dan cuma-cuma menggunakan segala fasiltas yang ada di sana, baik
berupa teknologi dan segala sarana pra-sarana yang ada. Begitu beraninya.
Jika ditilik secara
hitungan matematis, absolut Jepang rugi. Lalu apa yang membuat mereka begitu
jantan dengan niatnya? Kuncinya, mereka siap dengan apa yang mereka yakini
dengan hanya membawa badan dan otaknya. Sumber daya manusianya telah matang.
Sebab, pendidikan mereka di ambang kemapanan. Selain hasil dari sistem yang
baik, budaya membaca yang juga begitu tinggi. Maka, jangan kalah percaya bahwa
peningkatan mutu manusia bisa di awali dari bilik-bilik kamar, dari kumpulan
jendela dunia berlembar-lembar. Gara-gara buku.
***
Setelah keberadaan
internet dan saat semua serba digital, tampaknya keberadaan buku belum akan
tergantikan dalam hal kenyamanan membaca, keabsahan referensi, keasyikan
mengoleksi, serta keindahan memajang dan memamerkannya sekalipun.
Sebuah buku bermutu yang
telah terbit cukup lama laksana mahakarya seni yang diciptakan terbatas pionir
nan masyhur. Keberadaannya sulit ditemui dan memiliki harga terbilang fantastis
dibanding buku lain yang beredar di pasaran, dengan kualitas kertas yang bahkan
jauh lebih jelek. Sebagai seorang mahasiswa agaknya terlalu sayang menkonversi
uang menjadi barang yang overprice
itu.
Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno merupakan bukti nyata pernyataan di atas.
Ditemukan dengan debu yang menyelimuti seluruh badan buku, serta entah binatang
spesies apa yang menjadikan buku tadi habitatnya--sejenis semut namun lebih kecil.
Sang pedagang di Palasari Bandung sigap membersihkannya dengan kemoceng
sesekali meniup dengan cukup gigih. Kertasnya berwarna cokelat berbalut hard
cover, benar-benar tampak seolah benda pusaka. Belum lagi yang digunakan adalah
ejaan lama. Semakin mempertegas bahwa buku tersebut benar-benar banda bernilai
tinggi.
Buku. Genre apa pun,
cetakan tahun berapa pun, siapa pun pengarang serta penerbitnya, selalu punya
arti tersendiri bagi para pembacanya. Opini pribadi penulis bahwa buku-buku
fiksi (termasuk cerpen dan tulisan fiksi lain) berafiliasi dengan feminin,
karena keindahan dan daya imajinasinya yang mengangkasa. Tak tertebak, unik,
dan permainan kata yang sungguh apik lagi anggun. Sementara buku-buku non fiksi
(berikut esai dan tulisan non fiksi lain) memiliki konotasi maskulin. Gagah
melantangkan fakta serta opini sang pengarang. Pun berani mengutarakan
perspektif dari segi yang bahkan tak terduga sama sekali.
Dengan segala kelak-kelok
kisahnya, perkembangan buku di Indonesia sendiri mengalami cerita yang menarik
diselisik. Sebut saja pelarangan buku-buku yang dianggap kiri kala beberapa
orde yang memerintah di Indonesia. Luangkan waktu untuk menjelajah website
Goodreads Indonesia, dan dapati list buku non fiksi Indonesia sepanjang masa.
Mungkin anda akan terperangah. Bagaimana tidak, deretan buku itu di antaranya
digolongkan ke dalam buku yang dilarang edar, juga beberapa pengarangnya
berstatus kontroversial secara pemikiran. Soe Hok Gie pernah menuangkan ucapan
terima kasih dalam salah satu bukunya yang dihadapkan pada orang-orang yang
berjasa membangun republik ini. Dia menghaturkan terima kasihnya kepada yang ia
sebut kiri dan kanan. Tak bisa disangkal, Negara ini dibentuk dengan “gotong
royong”.
Kemudian, dengan
pernyataan-pernyataan itu, apakah kita harus menjadi takut untuk membaca? Apakah
kita harus menghindar dari tumpukan-tumpukan kertas itu? Malah kebalikannya,
pernyataan-pernyataan itu membuat proses membaca semakin menarik. Menelusuri
lebih dalam, mencari hingga ke root, dan menyimpulkan. Lihatlah bagaimana para
pendiri negara ini adalah pembaca-pembaca hebat. Moh. Hatta, Tan Malaka,
membawa buku-bukunya ke mana pun pergi. Bagaimana para sahabat-sahabat
pembentuk khilafah adalah pembelajar-pembelajar mengagumkan.
Buku bagaikan senjata. Menjadi
berbahaya bila digunakan untuk tujuan yang baik. Hati-hati pula terhadap
penyelewengannya. Menurut pepatah, membaca buku harus lah sambil berguru.
Setuju. Jika tidak, maka bersiaplah tersesat. Atau, bergurulah pada buku
berbeda.
Di akhir paragraf, sambutlah
suatu paham bahwa setiap orang harus memiliki buku. Untuk dibaca dan dijadikan
referensi. Begitu pentingnya buku, untuk membangun diri hingga ke tingkat
tertinggi. Buku apa pun, tentu yang baik. Fiksi, non fiksi. Menurut salah satu
teman saya, dengan buku fiksi kita akan belajar secara lembut, tak langsung,
cenderung tak sadar, mengenai hidup. Belajar menyelesaikan masalah dari
pengalaman tokoh-tokoh buatan yang bijaksana. Buku non fiksi mengajarkan kita to the point, padat muatan.
Selamat datang sebuah paham
baru. Bukuisme.