Atas Nama Sepak Bola

Tiap-tiap anak memiliki cita. Tempo waktu saya berkesempatan mengamati apa yang beberapa anak inginkan kelak saat mereka tumbuh dewasa. Saya membaca tiap helai sobekan kertas yang mereka berikan selepas membubuhkan tinta tentang angan mereka esok. (Catatan kegiatan bisa dilihat disini)

Penulis novel, guru, dokter, arsitek, lebih-lebih pemain film  merupakan profesi-profesi dambaan mereka. Yang membuat terkaget saat menyelami satu per satu halaman adalah, dominasi cita-cita dari para anak lelaki untuk menjadi pesepak bola.

Saya mencoba mencerna lebih jauh. Tak bisa dimungkiri bahwa ketika sebaya mereka pun mimpi saya sama mainstream-nya dengan mereka. Izinkan saya tertawa sejenak, hahaha. Tiba-tiba muncul sebuah tanya di benak saya, masih seprestisius itu kah menjadi pesepak bola di saat banyak profesi lain yang lebih sensasional semacam politisi? Pfft.

***

Dewasa ini, seharusnya pemerintah menambah opsi kepercayaan bagi warganya alih-alih sepak bola menjadi komoditas paling panas sebagai isu sosial di tengah-tengah masyarakat, dengan sudut-sudut kota dan tiap penjuru desa tak henti-hentinya melafalkan dialog  bernas sepak bola. Begitulah kira-kira petisi candaan para sepak bola freak berkaitan dengan antusiasme mereka terhadap hal satu itu, juga situasi yang melatarbelakangi betapa menjamurnya sepak bola hingga ke tingkat dini tadi.

Sejak kecil, bola plastik menjadi sahabat saya yang tak terpisahkan. Sekali pun terik mentari, celoteh tetangga, imbauan guru-guru, dan nasehat orang tua silih berganti memprovokasi meminta berhenti bersepak bola. Hingga kemudian sedikit terwadahi dengan bergabung dengan klub amatir dan beberapa kali mengikuti turnamen-turnamen kecil. Senang bukan kepalang merupakan deskripsi perfek kala itu.

Kecintaan saya terhadap sepak bola tak berhenti sampai disana. Dari remaja hingga beranjak dewasa, aktivitas saya pun tak luput dari hal yang erat kaitannya dengan sepak bola. Bermain futsal, sepintas sepak takraw, menonton pertandingan sepak bola Eropa di televisi, sampai mengikuti perkembangan sepak bola di berbagai media pun tak terlewatkan.

Menyadari bahwa menjadi pesepak bola bukan lah pilihan hidup yang masuk akal, sepak bola hanya menjadi sekadar hobi. Saya memilih untuk bermain seolah profesional, menonton seolah ter-ultras, mengkritik seolah pandit andal, dan menganalisis seolah post-match analyst pengguna opta.

Pengalaman terkait sepak bola tak pernah berbohong -- selain cokelat dan pantai. Lihat saja bagaimana kemarin saya berteriak girang menonton pertandingan Persib langsung di tribun, lengkap dengan syal terbelit di leher. Penantian selama bertahun itu kini telah terbayar. Sejak dulu memang ingin rasanya menjadi bagian lautan manusia di tribun stadion, mengambil peran sebagai kor sekaligus ahli sorak. Dan semoga, menjadi fokus perhatian steward di Old Trafford pun tak lagi sebagai resolusi tiap tahun yang sampai bosan saya tulis.




Sepakbola sebagai adiksi tak terelakkan lagi. "Awas sepakbola!" bukan tidak mungkin suatu saat akan menjadi jargon yang familiar di telinga, meski pun faktanya nanti hanya akan melintas sebagai kata-kata yang tak tersimpan dalam long term memory. Ini berkaitan dengan beberapa waktu lalu. Di media sosial, saya menyimak beberapa argumen yang menyatakan bahwa adiksi terhadap sepakbola sangat membahayakan. Diantaranya adalah membuat kita terlalu terbuai dengan balut surga duniawi yang bersemayam dalam tubuh bernama sepak bola. Membuat kita jauh dari Allah. Intinya itu. Katanya.

Pernyataan demikian tak salah, namun masih bisa diperdebatkan. Apakah menjurus hingga ke pelarangan mendekati sepakbola, saya rasa hampir. Opini pribadi saya sebagai berikut, sepak bola tak perlu dilarang atau bahkan ditafsir sejauh itu. Biarkan lah ia menjadi hiburan berkualitas diantara hiruk pikuk kepenatan yang semakin variatif. Biarkan menjadi obat pereda pilu yang sulit sekali dicari di apotek-apotek modern sekali pun.

Segala hal yang berlebihan memang tak baik. Kuncinya adalah berprilaku normal, mengetahui batas, tak berlebihan, dan tentunya menjalankan prioritas hidup dengan sangat baik. Sepak bola ibarat kawan bermain yang menyenangkan, bukan lawan. Kita boleh saja bermain dengannya selama mungkin, kemana pun. Namun, kita harus tahu kapan waktunya berhenti bermain dan lekas mengerjakan PR.