Simbiosis dengan Tukang Potong Rambut

Di suatu sabtu sebelum berangkat KKNM di Cipatujah, saya menyempatkan pulang ke rumah di Tasikmalaya. Berangkat menggunakan motor, tujuan pulang adalah melakukan silaturahim kepada keluarga sebelum meninggalkan mereka selama satu bulan di Cipatujah serta beberapa alasan teknis lain..

Ketika sampai di depan pintu rumah, semua orang terkejut dengan penampilan satu diantara keluarga mereka, saya. Rambut gondrong dengan bagian belakang lentik sekilas mirip ekor itik kata mereka. Meskipun asumsi saya itu hanyalah akibat dari efek helm yang sebelumnya dipakai. Dan masih menurut mereka kulit saya relatif lebih hitam. Ya sudahlah, saya abaikan saja. Toh itu hanya sebuah opini yang faktanya saya tetap percaya diri dengan penampilan saya waktu itu.


Kira-kira panjang rambutnya seginil

Hingga akhirnya di suatu momen sebelum magrib, Mamah memberikan sedikit komentar yang cukup menggoyahkan, “A, wang potong gera yuk rambutna meh rada rapi teu siga kitu, saalit weh dirapihkeun wungkul.” Dan entah disadari atau tidak, mulut ini mengiyakan yang juga disertai dengan reaksi tubuh segera bergegas. Alasannya yaitu semoga ada harapan yang menghancurkan mitos ketidakpercayaan terhadap tukang potong rambut!

Mesti diketahui sebelumnya bahwa saya sudah tidak pernah pergi memotong rambut ke barbershop selama lebih dari satu tahun. Kenapa? Jawabannya adalah karena saya tidak percaya sama tukang potong rambut. Kesannya, efek yang ditimbulkan setelah potong rambut adalah kependekan dan menurunnya kepercayaan diri secara drastis. Sehingga selama satu tahun itu saya memutuskan untuk bereksperimen memotong rambut sendiri di kamar mandi dengan gunting yang sengaja saya beli khusus untuk memotong rambut. Memang konyol tapi berakibat luar biasa pada diri saya. List mimpi saya pun bertambah, saya ingin menciptakan suatu alat agar setiap orang mampu memotong rambutnya sendiri sesuai model yang mereka kehendaki. Atau setidaknya jika mimpi itu sulit terwujud, saya ingin memiliki sebuah tempat potong rambut yang bisa memuaskan hasrat pelanggan sehingga tak timbul orang-orang seperti saya berikutnya yang tak puas dengan hasil potong rambutnya.

Cetrak-cetrak rambut saya dipotong oleh seorang profesional di sebuah barbershop recommendation. Dan kurang dari 15 menit  beres. What the amazing cutting? Yang biasanya harus bermenit-menit dalam melakukan hal sama di tempat berbeda. Yap, semuanya beres dan tak ada komplain di tekape. Hingga sesampainya di rumah, semua terasa ganjil, I’m not satisfied with the new style of my hair. Saya tak suka dengan model rambut itu. Entahlah siapa yang salah. Mungkin saya yang terlalu mengharapkan semuanya sempurna atau sang pemotong rambut yang memang tak bisa menafsirkan suara kliennya. Tapi, rasanya opsi kedua itu tak mungkin karena aneh rasanya jika hampir semua tempat potong rambut yang saya coba bersikap demikian.

Yang jelas, inti dari perjalanan hidup selama ini mengenai simbiosis yang saya lakukan dengan tukang potong rambut adalah, saya harus belajar percaya terhadap orang lain. Dengan sebelumnya menentukan pilihan yang tepat terhadap salah satu dari mereka. Dan tentunya dibalik pilihan itu terdapat konsekuensi yang baik atau buruk yang mesti diterima. Istilahnya rambutnya gagal atau jelek (sama aja). Atau bahkan, saya harus terus mengasah diri memotong rambut dengan tangan sendiri. Hahaa.

Rutinitas dan sesuatu yang simpel ternyata dapat berkata banyak, jika kita memahaminya.